5. Tidak dapat Sepenuhnya Mengontrol Hasil Tangkapan
Perikanan tangkap memang sektor yang perlu dikembangkan, dimaksimalkan potensinya dan tetap dilestarikan sesuai dengan maximum sustainable yield (MSY) yang telah disepakati bersama. Dalam
dunia perikanan tangkap juga melihat hasil apa yang akan di tangkap.
Penentuan hasil ini akan menentukan berapa keuntungannya, berapa
kapasitas kapal yang dipakai, biaya transportasi yang dihabiskan dan
pangsa pasar. Akan tetapi, kontrol hasil penangkapan tidak dapat
sepenuhnya dapat diterapkan. Pada hasil tangkapan utama, kemungkinan
besar ada by catch-nya. Dan hasil tangkapan samping (by catch)
ini terkadang merupakan ikan - ikan yang dilindungi oleh undang - undang
nasional atau bahkan PBB. Meskipun alat tangkap telah disesuaikan
dengan target tangkapan, telah menentukan Fishing ground-nya dan telah menyesuaikan dengan attitude ikan
target tangkapan tetap saja kontrol hasil tangkapan perikanan tangkap
akan sulit dilakukan. Ini menjadi kelemahan tersendiri bagi perikanan
tangkap tapi disisi lain juga menjadi keuntungan tersendiri bagi pelaku
perikanan tangkap.
Dipersulit birokrasi
Birokrasi juga turut andil mempersulit nelayan dalam hal
perijinan. Sangat disayangkan dalam pengurusan perizinan kapal dipersulit dan terjadi diskriminasi. Berbelitnya prosedur perijinan cenderung memperlakukan
nelayan sebagai "sapi perahan". Administrator Pelabuhan di bawah
Kementerian Perhubungan mewajibkan kapal nelayan memiliki surat ukur
kapal, pas tahunan, sertifikat kelaikan dan pengawakan. Akan tetapi
tidak semua lokasi tempat pendaratan ikan dilengkapi fasilitas tersebut,
sehingga nelayan bersama kapalnya harus menempuh ratusan kilometer
dengan biaya tidak sedikit untuk mendapatkan sertifikat laik laut. Biaya ini belum termasuk ongkos administrasi pengurusan diluar ketentuan
yang besarnya mencapai puluhan kali lipat. Sementara Kementerian
Kelautan dan Perikanan mewajibkan pula kapal nelayan mengantongi Surat
Ijin Usaha Perikanan (SIUP), ijin penangkapan (SIPI) Surat Izin
Pengangkutan Ikan (SIKPI) agar kapal tidak ditangkap saat melaut karena
dianggap ilegal.
Pada setiap tanggal 6 April diperingati sebagai Hari Nelayan Nasional. Perlu dicatat bahwa di negeri bahari ini profesi nelayan semakin tidak diminati karena sarat ketidak pastian dan kental nuansa kemiskinan bahkan dibawah kategori miskin. Warisan budaya bahari yang menjadi entitas bangsa Indonesia sejak zaman keemasan Sriwijaya dan Majapahit, lambat laun memudar sinarnya dan nyaris tenggelam bukan oleh ganasnya gelombang. Kebijakan pemerintah yang setengah hati memihak masyarakat pesisir menjadi salah satu faktor terpuruknya budaya bahari. Nelayan diteror isu kenaikan BBM, harga sembako, pencemaran laut, konflik, perusakan ekosistim pesisir, impor ikan dan cuaca ekstrim serta maraknya illegal fishing. Perlahan tetapi pasti kondisi itu menggerus kehidupan nelayan yang seharusnya layak dihargai karena setia menekuni kearifan budaya bahari
Pada setiap tanggal 6 April diperingati sebagai Hari Nelayan Nasional. Perlu dicatat bahwa di negeri bahari ini profesi nelayan semakin tidak diminati karena sarat ketidak pastian dan kental nuansa kemiskinan bahkan dibawah kategori miskin. Warisan budaya bahari yang menjadi entitas bangsa Indonesia sejak zaman keemasan Sriwijaya dan Majapahit, lambat laun memudar sinarnya dan nyaris tenggelam bukan oleh ganasnya gelombang. Kebijakan pemerintah yang setengah hati memihak masyarakat pesisir menjadi salah satu faktor terpuruknya budaya bahari. Nelayan diteror isu kenaikan BBM, harga sembako, pencemaran laut, konflik, perusakan ekosistim pesisir, impor ikan dan cuaca ekstrim serta maraknya illegal fishing. Perlahan tetapi pasti kondisi itu menggerus kehidupan nelayan yang seharusnya layak dihargai karena setia menekuni kearifan budaya bahari
Referensi:
Opini Bisnis Indonesia 10 Maret 2012 dan Kompas 11 Maret 2012
Pengelolaan Perikanan Indonesia karya M. Ghufran H. Kordi K.
https://okilukito.wordpress.com/2012/04/11/jangan-lagi-sakiti-nelayan/
0 komentar: